Friday, October 18, 2013

Belgium Trip Part II: Brussel


Kita sampai di Brussel sudah gelap, tapi belum terlalu malam untuk keluar bagi para pengelana (halah). Bedanya jalan dengan para peminum adalah mereka justru keluar malam untuk beramai-ramai pergi ke bar/pub. Dan katanya bar/pub adalah tempat untuk bertemu orang-orang dari berbagai tempat. Sayang nya saya tak berminat untuk hanya mengobrol di tempat berbau alkohol itu, lagipula malu dengan kerudung, kasihan para hijaber laennya nanti.. (haiyaaah...).

Setelah sempat dikibuli GPS, akhirnya kita menemukan hotel yang dituju setelah bertanya dengan seseorang di jalan. Dan tara... bukan sebuah hostel..! Tapi hotel, dan bintang empat. Saya sukses mengumpati Carlos yang malam sebelumnya sempat bertanya di kitchen bersama kita, sejelek apa saya pernah menginap di sebuah hostel. Dan karna akan menginap di hoStel, saya telah siap dengan peralatan tempur dari sabun hingga handuk. Yang tentu saja sama sekali tidak dibutuhkan di hotel ini. Hotel ini bagus dan murah, tapi lokasinya cukup jauh dari city centre (tapi tentu saja kami masih berjalan kaki ke city) 
Our (not) Hostel

Makan malam di brussel tapi malah ke Mexican Resto :(


The famous French Fries yang sebenarnya di Belgium (bukan di France)


Kamera saya tak berhasil menangkan keanggunan bangunan di Mark Place ini

Koleksi Pakaian Meneken Piss


Sebagian anggota rombongan yang berhasil bangun pagi ini

Have to had a wafle in brussel

The famous Manaken Pis

Zoom out and you can see how small he is

I have to have a good hot chocolate in a chill day

You could rent these bikes

The Royal Palace

Waffle for breakfast

The waffle



Thursday, October 17, 2013

Belgium Trip - Part I: Antwerpen

Sudah lama saya ingin menuliskan semua kisah perjalanan saya di blog ini. Tapi tak mau kalau nanti berubah jadi travel blog yang sudah menjamur itu. Sejauh ini kisah perjalanan yang berhasil terekam disini adalah perjalanan di New Zealand dan Lombok. Padahal banyak kisah perjalanan lainnya yang tidak kalah menarik dan seru nya. 

Perjalanan ke Belgium ini sebenarnya sudah agak lama. Masih di bulan-bulan awal saya di Netherlands, saat ada long weekend.. (saya lupa) dan kebetulan kamera saya juga salah setting tanggal. Tapi untung saja ada facebook dan seorang teman yang rajin update, jadi saya bisa memastikan bahwa perjalanan kami waktu itu dari tanggal 29 Maret-1 April 2013. Waktu itu saya masih tinggal di Ede, sebuah kota yang sedikit lebih besar dari Wageningen, Gelderland, The Netherland (biar lengkap!). Perjalanan dimulai dengan kehebohan perencanaan oleh seorang Carlos sang pencetus ide sekaligus organiser tour (hihi). Akhirnya kami berangkat dua mobil, berisi sepuluh orang in total. Perjalanan kali ini membawa saya kebeberapa kota di Belgia; Antwerpen, Brussel, Brugge, dan Gent.

Karena Phelia si rambut merah tetap harus masuk kantor di hari Jumat, akhirnya kita baru memulai perjalanan pada pukul 12 siang dan pemberhentian pertama adalah Antwerpen, sebuah kota tua cantik di north-west nya Belgium. Dari Ede menuju Brussel, ibukotanya Belgium, kita memang melewati kota ini, tentu saja bukan berarti "benar-benar harus melewati", bisa saja kita terus meluncur di highway nya, tapi kota ini sayang untuk dilewatkan. Sayangnya sisa musim dingin masih berasa di akhir bukan maret ini dan tak ada langit biru.

Kami hanya berjalan seputaran City Centre nya. Seperti kebanyakan kota di Eropa, kita bisa berkeliling di pusat kota tua nya untuk menikmati bangunan-bangunan tua keren (termasuk katedralnya) hanya dalam hitungan jam. Kali ini kami ke central plaza, katedral (pastinya), dan stasiun. Ditutup dengan ke bar tentunya (bagi para manusia lainnya) dan ke toko coklat (saya, evi, dan Keenan yang lagi ngga pengen minum). Saat kami berjalan mencari cafe coklat, saat itu magrib datang dan terdengar suara seruling di seantero kota. Keenan si kriwil menunjukkan jarinya keatas bangunan tua dan dari jendela bangunan itu ternyata seorang bapak sedang meniup serulingnya sambil tersenyum. What a hobby!

Berikut beberapa gambar yang saya ambil di Anwerpen.

Rombongan perjalanan kali ini,
 minus Phelia si rambut merah yang memegang kamera

Di Antwerpen Station, dan kali ini yang kurang adalah Carlos
(photo courtesy of Pedro)
Jalan-jalan di kota yang mulai sepi karna udah lewat jam 5pm,
postcard tentang coklat, karna ya! belgium terkenal dengan coklat nya.
Minuman yang kita beli di chocolate cafe (dengan sepotong brownies!)
and I found Australian ice cream in belgium!
Yang cukup lucu dari foto-foto diatas karena saya menemukan bran Australian Ice Cream lengkap dengan gambar kangguru nya. Padahal di Oz dulu banyak Italian Ice cream.. hehe...

Baiklah untuk saat ini cukup perjalanan di Antwerpen saja yang saya sajikan. Ini baru setengah hari pertama perjalanan. Hehe... Pantes selama ini saya malas menulis, sekalinya di tulis bisa panjaaaang....


Friday, September 20, 2013

Why did I do this?

Ehm... Itu sepertinya pertanyaan yang paling sering saya tanyakan pada diri saya sendiri. Terlebih lagi belakangan ini. Pertanyaan itu bukan dalam rangka menyesali suatu hal yang saya lakukan, tetapi lebih pada upaya untuk "menyadarkan" mengingatkan pada diri sendiri mengapa saya mengambil langkah ini.

Belakangan, pertanyaan ini saya ajukan berhubungan dengan langkah saya mengambil satu mata kuliah ekonomi (lagi) disini. Singkat cerita, di Melbourne dulu saya juga melakukan hal yang sama dengan ganjaran "almost fail". Dan sekarang dengan tidak kapoknya saya kembali mengambil langkah yang serupa dengan keyakinan "sekurangnya saya telah dapat sedikit background sewaktu di Melbourne dulu". Tapi dahulu waktu saya mengajukan ijin untuk mengikuti kelas ekonomi ke Professornya, dia juga menanyakan apakah saya punya background sebelumnya. Kala itu walau jurusan saya teknologi pertanian, saya mendapat matakuliah "Dasar Ekonomi" dan "Ekonomi Teknik". Terdengar keren ya? Sementara yang saya ambil di Melbourne adalah Economic of Food. Dan di Melbourne saya baru menyadari bahwa saya sama sekali asing dengan konsep ekonomi, bahkan dengan teori dan konsep dasarnya. Sekarang saya wondering apa yang saya pelajari saat di Bandung dulu. Dan hal serupa terjadi lagi, walau saya merasa saya punya background dari melbourne kemaren, ternyata hal itu juga tidak significantly membantu saya disini.

Kembali ke masa sekarang. Thanks to Economic of Food, saya merasa pede mengambil mata kuliah Economic of Agribusiness kali ini. Nama kuliahnya juga terdengar lebih keren bukan? Dan sering kali saya sedikit meremehkan perkuliahan disini. Saya selalu menganggap Melbourne is better. Walo kalau dilihat dari nilai-nilai saya, anggapan itu tidak bisa di justifikasi. Nilai saya disini rendah dan hampir selalu dibawah 70%. Sementara rata-rata nilai saya selama di Melbourne diatas 75%. Ooops.. saya bukan sombong ya.. hanya memaparkan data. Selama ini saya selalu menyalahkan kerja kelompok dalam mengerjakan report dan paper yang selalu membuat nilai saya jelek. Tapi pada kenyataannya nilai exam saya juga tak pernah diatas 80%. Jadi ya alasan saya tak bisa dibenarkan. Tapi tetap saya merasa Melbourne is better.. haha...

Kenapa saya tak pernah fokus menulisnya ya..?
Jadi sekarang saat saya kembali harus berusaha keras untuk memahami teori ekonomi dan "berbagai cara abstrak" nya dalam mengukur semua nya dalam bentuk uang, saya sesekali bertanya kenapa saya mengambil mata kuliah ini lagi walau saya tau bahwa ini tidak akan gampang. Dan saya menyadari bahwa kali ini saya kuliah tidak lagi untuk nilai dan "sekedar untuk lulus". Tapi untuk mengerti dan memahami sesuatu (ciyeeeh). Nilai bukan lagi hal mutlak yang saya kejar, apalagi gelar. Saya hanya ingin memuaskan rasa ingin tahu. Hal ini tak serta merta saya bawa dari awal dulu. Awal kedatangan kesini saya memiliki target nilai yang lebih bagus. Harusnya lebih bagus karna saya juga lebih "siap" keasaannya. Tapi semua berubah setelah saya mendapati system nya yang berbeda dan keadaan saya yang lebih menyenangkan saat tidak harus terkungkung target.

Jadi mengapa saya melakukan ini..? Menurut saya ini hanya jalan saya untuk memahami dan menikmati hidup :)

Thursday, May 23, 2013

Something wrong...

Sampai dengan hari ini, saya telah berada hampir 4 bulan di negri mantan penjajah kita ini, The Netherlands atau yang biasa kita kenal dengan Belanda (saya masih tak habis pikir kenapa kita menamai mereka Belanda, mungkin karena Netherland ga bersahabat dengan lidah para Jawa dahulu kala). Sampai dengan saat ini juga saya telah menempuh 3 courses (kalo di Oz dibilangnya 3 subjects) dan so far saya tidak puas dengan nilai-nilai yang saya peroleh.

Saya tak percaya dengan omongan orang-orang yang bilang, "Kalo kuliah disana, yang penting passed" alasan nya karna ini di Belanda (so what?) Bilangnya ini high rank campus (so? Malbourne Uni lebih tinggi ranking nya). Belajarnya beda, bahasanya beda, system nya beda dan berbagai excuses lainnya. Tapi ketika semua hal itu saya bandingkan dengan kuliah di Melbourne University, trus apa bedanya? Bahkan english saya lebih parah waktu disana, disini saya lebih nyantai dan orang-orang juga jauh lebih mengerti seperti yang saya ulas di posting sebelumnya.

Satu hal yang pasti berbada adalah semua assignment yang dilakukan dalam group. Saya tak menyukai ini dari awal. Di Melbourne nilai-nilai saya tinggi di assignment karena hampir semuanya individual essay. Dengan english saya yang terbatas, saya mampu memperoleh nilai 80 bahkan 90 dibeberapa essays. Biasanya nilai 90 saya peroleh di essay yang lebih singkat yang berarti bobot penilaiannya juga lebih kecil. Saya mengakui dahulu itu kemampuan saya menjawab soal exam dalam bahasa english masih sangat terbatas, jadi tak mengherankan nilai exam saya juga pas-pasan.  But at the end, total nilai saya juga bagus.

Sementara disini? Saya tidak bisa menyalahkan group work begitu saja. Toh disana juga terdapat andil saya. Saya pikir at the end saya harus mengakui bahwa semua ini disebabkan oleh effort saya sendiri. Dibanding di Melbourne, saya disini lebih santai. Ini juga tak lepas dari gampangnya terpengaruh dengan gaya belajar manusia-manusia pemabok ini. 

Ketika saat ini saya melihat kembali masa-masa di Melbourne, saya menyadari bahwa saya benar-benar belajar disana. Maksudnya saya memberikan full effort untuk semua tugas dan ujian. Sementara disini nampaknya saya melepas tanggungjawab kepada group hanya karna saya tak menyukainya. So from now on, harusnya saya kembali mengubah attitude. Tidak merasa bisa dan lantas bersantai ria, harusnya saya seperti dahulu kala yang merasa banyak kekurangan dan harus mengejar semua itu dengan blajar.

Mari kita mulai..!

Bismillahirrohmanirrahiiiim...

Saturday, April 27, 2013

What Am I Gonna Do?

Yang pasti saya harus memiliki kehidupan lebih baik dari saat ini. Jadi coret saja kemungkinan untuk menjadi IRT. Impian saya beberapa waktu yang lalu. Bukan karena saya tidak mungkin mencapai nya, tapi karena ketergantungan kepada orang lain yang membuat mewujudkan mimpi itu tak semata berada dalam kuasa saya. Jika ingin menjadi IRT saya membutuhkan orang lain yang 100% mensupport saya. Penuh. Dan ya alhamdulillah sampai saat ini saya belum menemukan seseorang yang mau melakukannya.. hehe...

Pilihan berikutnya adalah menjadi profesional, menjadi pengusaha, atau menjadi researcher. Sekarang saya akan memasukkan opsi mencari kesempatan untuk bisa menjadi research assistant dan sejenisnya. Saya lebih tertarik untuk bergabung dengan project2 yang ada disini untuk kemudian memiliki kesempatan untuk meneruskannya saat saya selesai dengan masa study disini.

Selama saya tak kembali ke negri sendiri, tak akan ada masalah sepertinya. Tapi kemudian ada sedikit masalah lainnya. Masalah pribadi. Saya memikirkan itu sebelum nya tapi ketika rencana awal saya tidak di support... apalagi pilihan saya?

Mimpi lainnya adalah saya menetap di suatu wilayah polosok Indonesia yang cantik. Dan saya akan mengabdikan hidup untuk kemashalatan orang banyak. Mengabdikan diri untuk negri. Sekurangnya saya bisa menjadi guru SD. Cita-cita yang mulia bukan? Tapi apa saya mampu melakukannya? Apa saya akan betah disana?

Masih ada impian lama saya untuk menjadi seorang penulis best seller. Saya hanya mau jadi penulis jika tulisan saya memberi manfaat dan menjadi best seller. Segampang itukah? Tentu tidak! Apa yang akan saya tulis pun masih tak terbayang di kepala saya.

At the end, perjalanan hidup ini menurut saya hanya untuk sebuah pembelajaran. Tapi belajar untuk masa mana lagi? Saya tak akan pernah bisa mencapai tujuan hidup saya jika saya sendiri tidak men-set tujuan itu. Saya pikir sudah saatnya saya berhenti membuat dan mengejar mimpi-mimpi jangka pendek. Tapi jika mimpi jangka panjang saya adalah kebebasan financial and a happy family.. sepertinya terlalu jauh perjalanannya tanpa saya memiliki bayangan untuk jangka menengah dan jangka pendek nya.

Kenapa saya tak bisa seperti orang lain saja? ah.. tapi apa yang saya tahu tentang orang lain. Belum tentu mereka juga puas dengan hidup nya masing-masing. Barangkali mereka iri dengan hidup saya. Jadi untuk saat ini saya mensyukuri dan menikmati perjalanan hidup ini.

Bismillahhirrahmannirrahiiim...

Seperti biasa saya selalu berdoa semoga jalan kehidupan saya kedepan selalu dimudahkan oleh Allah
Amiiin....

Sunday, March 10, 2013

Australia (Melbourne) VS The Netherlands (Wageningen)

Sudah lama ide ini bersemayam dikepala saya. Awalnya lebih ke ide untuk menulis di twitter. Hal-hal singkat yang muncul di kepala setiap kali bertemu suatu peristiwa. Tapi kadang saya sedang di jalan, sedang bersepeda (ya..! saya telah resmi jadi Dutch resident by biking almost everyday to everywhere), dan akhirnya tak jua menulis satupun.

Baiklaaah mari kita mulai..! Ini berdasarkan ingatan di kepala sahaja ya.. mungkin saya akan terus meng-update postingan yang ini kalau menemukan hal-hal baru yang membuat saya membandingan tinggal disini (Wagengingen) dengan di Melbourne.
  • Besarnya Scholarship. Taraaaaa... Sudah tau mana yang lebih besar dwooonk? Di Melbourne dulu saya dapat beasiswa dari pemerintah Australi melalui program AusAid nya, dan disini saya juga memperoleh beasiswa dari pemerintah The Netherlands melaui program NFP. Sama-sama dari pemerintah lokal. Tapi let me put it this way.. Sewaktu di Melbourne, beasiswa saya lebih besar dibanding penerima beasiswa dari pemerintah Indonesia (banyak lhooo program beasiswa dari pemerintah Indo), sementara disini sebalik nya. Bagi yang ikut les bahasa engris pasti pernah diajarin arti kalimat "Let's go dutch" ketika seseorang ngajak makan bareng di cafe or resto. Ya artinya "bayar sendiri-sendiri". Atau perumpamaan orang tentang relatives nya "ah.. he's my Dutch uncle" yang padahal pamannya juga bukan Dutch. Artinya kurang lebih pamannya pelit dan (biasanya) suka mabok. Trus ada lagi "Dutch counts pennies.." Kalo sekarang lebih tepat nya "Dutch counts cents" yang artinya tau kaaan? peliiit. Sampe ke sen nya diituuung.
  • English is nobody's language. Disini ituuuh ga ada gap besar antara yang native dan yang bukan. Soalnya yang english native speakers nya juga minoritas. Beda sama di Melbourne, jelas banged antara yang native dan yang foreign student. Kalo disini banyak international student dari negara2 lain di europe yang tampangnya caucasian semua dan warna kulit ngga beda. Kalo di Melbourne yang international student paling yang dari Asia dan Africa jadi lihat "penampakan"aja udah ketahuan mana yang native mana yang ngga.
  • Cara ngeja nama ngga selama nya in English way. Untuk poin ini saya bahagiaaaa banged. Karna orang bakal nanya "How to pronounce your name?" Dan mereka ga kesulitan untuk pronouncing it. Karena katanya kaya bahasa Italy "Vi-o-la-che" berikut dengan irama pronouncing "al dente". Lha kalo di Melbourne? Tiap kali saya bilang cece, ditulis jadi "JJ". Violace jadi "vai-o-less". Dibilangin "vio-la-ce" jadi "Violachi" ala kecekek. Disini ada yang namanya Jesse, pronouncing nya "Yassa". Ianese = Jenis. Jana = Yana. Annelieke = Anelike. Jadi yaaa... Violace = Violace ya ngga aneh. Daaan.. Yassa dan Jenis itu adalah nama cowo..! 
  • Beda dengan aturan di Melbourne, kalo disini sepedaan ngga wajib pake helm 
  • Gadget nya jangan ditanya deh... Melbourne jauh lebih aware tentang updating gadget. Mobile phone aja masih belum pada smart disini. Apa mungkin karna di kampung aja ini? Tapi saya sedang membandingkan gadget2 teman2. Yang selain Asia or US, yang laen masih bertahan dengan model lama. Atau ini mungkin berkaitan dengan poin berikutnya.
  • Master students nya masih pada muda-mudaaaa... Waktu di Melbourne beda antara yang udah kerja dan melanjutkan master dengan yang fresh from Bachelor kayanya imbang ato malah banyakan yang udah kerja nya. Bahkan kelas2 nya pun disesuaikan, banyak kelas malam karna yang kuliah banyakan yang udah kerja. Lha disini? Boro-boroooo bisa sambil kerja. Kelas nya tiap hari dan yang tua itu minoritas. Kebanyakan anak2 kecil tamat bachelor dan masih gila pesta dan mabok2.
  • Barbeque ga sepopuler di Australia
  • Di tiap kelas ada gambar burger dan gelas minuman di silang. Tapi yang mo makan dan minum dari botol ga dilarang. Bahkan di perpus nya pun ada tertera jenis makanan yang boleh dimakan di perpus walopun gambar itu tetap terpampang dimana-mana. Kalo di Melbourne sie jelas banged aturannya. Mo makan, mo minum, mo angkat kaki, mo tidur dikelas terserah sesuka hati, selama ngga berisik ganggu yang laen, sementara kalo di perpus nya saklek ga boleh makan apa2.
  • Exam nya ga "menakutkan" seperti di Melbourne Uni. Kalo di Melbourne semua orang di satu hall gede dikumpulin, banyak pengawas, ga boleh bawa tas, ada pengecekan ID dan seterusnya. Kalo disini ujiannya cuma di ruang kelas biasa, pengawasnya cuma 2 orang dosen yang biasa ngajar, ga ada pemeriksaan ID, tas apapun masih dibawah kaki. Pergi ke toilet ditengah tes juga dibiarin, lucunya kalo ke toilet melewati ruangan komputer, bisa aja belok bentar ngecek jawaban kalo niat. Di toilet bisa ketemu teman dan nanya2 or diskusi tentang soal. Tapiiii ga ada seorang pun yang berniat melakukan itu.
  • Disini ngga saklek tentang aturan kaya di Melbourne. Sepeda suka semena-mena walaupun ngga ada jalurnya. Disini sepeda penguasa banged deh. Ada ruas jalan (biasanya memasuki city center or yang biasa dibilang centrum) yang sepeda dilarang lewat. Tapiii ngga ada seorangpun yang turun dari sepedanya. Kecuali di centrum yang rame, barulah pada turun.
  • Kalau di melbourne ada road sign untuk koala dan kangguru, disini ada road sign untuk bebek dan kuda. Yang artinya itu daerah perlintasan bebek dan kuda. Next time saya akan foto.
  • Satu lagi sebenarnya mau tulis tentang kopi nya. Tapi nampaknya ngga sebanding antara kampus Melbourne dan Wageningen. Maksudnya ngga bisa dibandingkan. Ngga apple to apple. Yang satu di kota yang satu di kampung. But nevertheless disini ngga banyak cafe yg jual coffee kaya di Unimelb. Kalo mau kopi ya ke coffee machine yang ada di tiap lantai di gedung utama. Atau malah ada di tiap lantai di semua gedung. Kalo di coffee machine beli cappucino bakal kena 0.50 euro sementara kalo di cafe nya (yg cuma satu di gedung utama 8 lantai) kalo ngga salah 1.25euro. Ngga ada cafe bertebaran di luar gedung kaya di Unimelb apalagi yg pake stall doank.
Kalo ngga salah ada satu lagi yang saya temukan perbedaannya, tapi sekarnag sedang lupa. I'll add it later... If I could remember it.


  • Ingat..! Ini malah hal yang sangat penting sistem perkuliahannya! Disini setiap semester dibagi jadi 3 period. Dan ada kelas tiap hari! Biasanya kelas 3 jam sehari (untuk satu subject), untuk periode yang panjang, ada 2 subjects dalam satu period yang satu kelas pagi dan satunya kelas siang (tiap hari!). Jadi totalnya 6 jam sehari di kelas! Kalau kerjaannya di kelas aja tiap hari kapan ngerjain tugas nya?? Nah itu dia... tugas nya ngga banyak! Semua dibebankan di exam. Ini yang jauh berbeda dengan Melbourne Uni (atau system di Australia). Disana satu semester cuma 4 subjects. Kalo pun ada kelas tiap hari karna ada praktikum misalnya, paling kelasnya cuma 3 jam sehari untuk satu subject. Sering nya cuma 2 jam. Jadi seminggu paling cuma total 8 jam pertemuan untuk 4 mata kuliah. Nah berhubung banyak waktu luang diluar kelas, jadilah banyak tugas. Yang ngga bisa dikerjain sekali duduk. Jadi banyak belajar sendiri nya. Sementara kalau disini tugasnya semua pasti per kelompok. Karna memang waktu untuk ngerjainnya pun ngga banyak. Balik dari kelas itu palingan udah teler. Belum waktu buat baca. Ada yang bilang system di Australia itu nyante dibanding sini. Kalau aku bilang sie lebih santai disini. Cuma perlu duduk dengerin di kelas tiap hari, semua ilmunya di sendokin. Sementara kalo di Oz tiap hari pasti baca nyari referensi buat tugas yang artinya baca, mengerti dan menulis. Tapi itu karna saya sangat peduli dengan essay dan agak kurang peduli dengan exam, jadinya saya beranggapan begitu. Bagi orang yang tidak begitu peduli dengan essay (tugas2) atau bisa ngerjain essay dalam sehari jadi, dan indikator santai atau tidaknya kuliah hanya berdasar kewajiban datang ke kampus, ya sistem Oz emang berasa nyantai banget.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : ABSURD


#52-25, 19 Feb 2013 23.14 CET

"Ya ampun Vie... Jadi.. kamu ngga mau minum, tapi dugem gapapa?"

"Dugem apaan sie..? Aku ngga dugem koq"

"Lha itu kamu bilang barusan ke pub dan dancing..."

"Halah.. aku ngga nari saman koq disana, cuma ngikutin anak-anak koridor doang, ngga nge-dance gila kaya orang mabok, bisa dibilang ngga dancing malah"

"Iya makanya... minum ga boleh, tapi dugem gapapa..?"

"Dugem apaan sie maksudnya? Minum beralkohol itu harooom... nah dugem haram dimananya? Yang dugem siapa? Aku kan cuma ikut temen-temen aja"

"Huuu... ngeles ajah.. ngga malu kamu sama kerudung...?"

"Heh.. itu udah bukan urusan kamu lagi ya.. Aku mau malu atau ngga, apa hubungannya sama kamu...?

"Deu.. galak amat non, tapi kamu ksana tetap pake kerudung kan..?"

"Itu jawabannya gampang.. tapi aku ngga mau jawab, bukan urusan kamu. Aku pake kerudung itu urusan aku sama tuhan. Ngga ada hubungannya sama kamu. Kenapa emang nya kalau aku pake kerudung, kenapa emang nya kalo ngga? Kamu yang mau ngasih dosa dan pahala emang nya?"

"Ngga Vie.. ya ampun....."

"Apanya yang ngga?"

Itu percakapan imajinasi saya dengan seseorang entah dimana. Belakangan ini emosi saya sedang dalam keadaan tidak baik. Kondisi yang dipicu oleh penyesalan akan sebuh tindakan. Atau beberapa. Entahlah... Mungkin karena saya sedikit banyak ikut peduli dengan "pikiran / pendapat orang" tentang saya. Memang lebih sering saya tidak peduli karena satu alasan sederhana, I can't do anything about that and it usually ruin my mood. Jadi ya lebih baik tak peduli. Hanya saja ketika saya peduli, saya lebih sering emosi sendiri yang merusak hari.

Sunday, February 24, 2013

LDR

Sebelum nya sudah pernahkah saya menuliskan tentang Long Distance Realtionship ini? Karena sepertinya saya selalu bermasalah dengan ini. Derita tidak bisa menemukan hi quality jomblo di kota tempat tinggal. Hehe...

Yang utama harus dimiliki dalam LDR itu adalah kesabaran, yang kedua sabar, dan yang ketiga sabar. Komunikasi bukan masalah besar di jaman teknologi sekarang ini. Mulai dari whatsapp sampai skype. Yang punya BB pasti dengan BBM nya dunk.. Tapi saya dan dia bukan pengguna BB, dan dia tidak mau menggunakan whatsapp for personal reasons. Jadi pilihan yang tertinggal adalah sms dan skype. Bisa juga dengan program mobile messengers lainnya, tapi so far itu hanya membuahkan frustasi di pihak saya karna programnya menyedot batre dan dalam beberapa jam HP saya koit. Sms..? Itu juga menyebalkan karna menyedot pulsa.. hehe.. Skype so far merupakan pilihan yang sangat membantu. Masalahnya adalah perbedaan waktu setengah hari iniiiih... Jadi waktu yang memungkinkan untuk bisa ber-skype ria adalah tengah malam saya dan pagi dia atau sebalik nya. Jadwal diluar itu akan membuat salah seorang bete. Karna yang lain pasti sedang sibuk melakukan aktifitas nya.

Masalah lainnya adalah tendensi saya untuk gampang menyerah. Saya tak kuat sakit, langsung menyerah pada analgesic untuk mematikan rasa sakit. And sometimes missing him hurts me more than having my period pain in the worst day. The different is this time analgesic won't help at all. Jadi nyaaah seperti biasa yang bisa saya lakukan adalah menulis disini. Terapi biar tak gila dan melakukan hal yang akan saya sesali di kemudian hari.

Sunday, February 17, 2013

Derita Bersepeda di Belanda

Judul yang dramatis berima seperti biasa yang saya suka... Jadi bisa dibilang seminggu ini saya sudah bersepeda di negri belanda ini. Menempuh jarak kurang lebih 9km antara Ede (tempat tinggal saya) dan Wageningen (kampus saya). Hari pertama bersepeda, saya langsung kehabisan nafas dan pusing sesampai di universitas. Jangan tanya kenapa. Hari kedua sedikit lebih baik, hari ketiga diakhiri dengan meninggalkan sepeda di kampus dan pulang dengan bus karena salju turun dan saya tak membawa perlengkapan anti salju. Hempasan salju kemuka itu sangat menyakitkan.

Tadi pertama kalinya saya menempuh Ede-Wageningen seorang diri. Sebelum-sebelumnya selalu dengan teman dari dorm yang memiliki jadwal kuliah yang sama dengan saya. Tadi karena libur dan saya ada urusan pribadi, jadi lah dengan sesuka hati saya mengayuh sepeda. Tapi sesuka hati pun ternyata bukan sepeda santai yang tidak melelahkan, karna saya pun ternyata bosan tak juga sampai ditujuan dan jadilah mengayuh dengan sekuat kemampuan paha menahan pegal.

Berangkat ke wageningen tidak seberapa. Deritanya baru dimulai ketika balik ke Ede. Karna kelamaan rumpi di Wageningen, saya balik ketika hari mulai gelap. Seorang diri. Ditengah jalan gerimis pun mulai turun. Saya tak ambil pusing karna hanya gerimis kecil hingga di suatu daerah bernama Benekom saya lihat beberapa orang pesepeda lainnya sedang berteduh. Saya pun langsung melihat ke jaket saya. Ternyata sebagian besar bagian depannya telah basah kuyup. Tapi saya sudah kepalang basah, jadi sapun melanjutkan kayuhan se-sisa tenaga. Memasuki daerah Ede, saya mulai melihat keanehan di track sepedanya, seperti lumpur yang menutupi, beberapa saat kemudian ditempat yang lebih terang saya baru menyadari bahwa itu ternyata salju. Sepertinya di Ede sempat turun salju yang cukup membeli lapisan penutup putih yang memberatkan kayuhan di track sepeda.

Berjuangan saya diakhiri selalu dengan tanjakan kecil ke dorm. Tanjakannya tak seberapa, tetapi setelah mengayuh selama nyaris 30 menit, tanjakan itu selalu terasa seperti tantangan terbesar sebelum mencapai kenyamanan dorm. Saya sampai di kehangatan dorm dengan paha pegal, nafas tersenggal dan bsah kuyup. Sekurangnya saya sampai dengan selamat.

track sepeda yang tertutup salju

Monday, February 11, 2013

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : EDE, GELDERLAND, THE NETHERLANDS


#52-24, 10 Feb 2013 24.04 CET


Well.. wel.. siapa yang sangka... siapa yang duga... Vie yang tiga tahun lalu merana karena harus kuliah lagi sekarang kembali terdampar untuk melakukan hal yang sama. Dia masokis. Semua tahu itu. Saat hubungan dengan dia yang namanya tak mau dia sebut telah bisa diakhiri tanpa derita lagi, Vie membutuhkan hal baru untuk menyiksa diri. Sekolah lagi mungkin? Toh dia masih bodoh dan membutuhkan lebih pendidikan.

Besok akan menjadi hari pertama kuliah Vie disini. Dia tak bisa menahan diri untuk tak tertawa. Tapi dia masih bertahan untuk tidak tertawa histeris, tak mau teman-teman se'koridor' nya ketakutan mendengarnya. Temperatur satu derajat dibawah nol, tapi kamarnya tak sedingin sewaku di Melbourne. Disini dia tak perlu berpikir pusing untuk menghemat biaya penghangat ruangan. Tapi bukan itu yang membuat nya ingin tertawa histeris. Dia teringat Enade, manusia yang meracuni nya untuk menulis disini.

Dulu manusia hamster itu menggambarkan Netherlands bagai kulkas, terang dan dingin, dia juga mengatakan bahwa negri ini selalu tertutup kabut yang membuat nya depresi. Belum lagi salju yang menutup semua warna dunia dan menjadikannya hanya putih. Well yeah.. mungkin itu keadaannya di Amsterdam dan Den Haag, kota tempat dia berseliweran di negara ini. Tapi sekurangnya di kampung Ede tempat Vie terdampar kali ini tak sedingin atau seputih itu, sekurangnya view dari kamar Vie cukup berwarna.

the view

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Tak Terhapus


#52-23, 27 August 2011 13.54 AEST


Seperti biasa tiba-tiba aku sedih, dan merindukan mu setengah mati. Dan aku hanya bisa memutar ulang memory tentang mu. Semua yang positif, sebelum aku menyadari banyak yang negatif menyelip dan tak mau ku ingat. Dan semua mengingatkan tentang pilihan dalam hidup. Kita bisa memilih hal-hal dan pikiran yang ingin selalu di ingat atau di lupakan. Dan tentang mu hal ini sangat membingungkan. Melupakan mu sepertinya adalah satu-satu nya pilihan rasional yang sayang nya sangat susah aku lakukan. Sementara mengingat mu hanya akan selalu menambah kesedihan dan kesepian dalam hidup ini.

Dan disini lah aku. Sendiri di sepinya hari mengingat mu. Membuka layar YM dan melihat namamu disana. Selalu disana dan tak pernah ada sapa jika bukan dariku. Dan seperti biasa jari ku mengetuk dua kali di nama mu untuk memunculkan satu layar kecil dengan foto kecil di samping nya. Tentu saja bukan foto mu yang kau pajang. Dan jemari ku menari manulis kan racauan hati dalam satu helaan nafas tanpa ada niat memencet [enter] untuk mengirimkannya padamu. Belum selesai kicauan hati itu tertumpah, satu bunyi familiar menggema di ruangan. Satu kalimat tertera di layar kecil itu. Dari mu. Ya, darimu di tepi dunia sana. Dan aku pun tersenyum, semua rasa hilang kecuali kau menyadari di tepi sana. Atau hanya pengaturan waktu sang kuasa saja yang sangat tepat. Dan beberapa kalimat dariku langsung meluncur menyambut satu sapa itu. Dan keheningan kembali datang. Semua hanya dibalas oleh sepi.

Aku ingin menyingkirkan mu dari kepala, tapi semua hal sederhana yang terjadi setiap hari mengingatkan ku akan dirimu. Aku dulu dengan gampang nya bisa menyimpan satu pikiran negatif tentang orang lain yang bisa untuk selamanya membuat dia masuk dalam kategori orang yang tak penting dalam hidup ku. Sementara banyak hal negatif tentang mu hanya membuatku mempertanyakan tindakan ku sebelum nya. Hingga saat ini pun aku masih tidak bisa memasukkan mu dalam kategori manusia tidak penting dalam hidup ini. Aku malah mempelajari bahwa tidak segampang itu seharusnya aku mengkategorikan manusia lain hanya berdasarkan satu tindakan yang aku tidak suka.

Setelah sekian lama, ternyata aku masih juga berkutat tentang mu. Aku pikir, sedih tak akan lagi menghampiri kala mengingat mu, sepi tak akan lagi menjadi penghantar bayang dirimu dalam hari ku. Tapi ternyata waktu tak juga menghapusmu.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Puasa


#52-22, 9 August 2011 20.24 AEST


Tak terasa tinggal enam bulan lagi masanya di negri empat musim ini. Sekarang musin dingin nya yang kedua. Dan Ramadhan kedua di negri orang. Vie merindukan suasana kampung halaman. Disela himbauan untuk memperkecil volume adzan di mesjid-mesjid Indonesia, Vie merindukan kebisingan itu.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : The Game...

#52-21, 9 October 2010 00.24 ADST

"Salam dari pak ustad..."

"oh noooo....!!!"

"koq..? bukannya senang...?"

"no..no..no...hiks... apa yang lu bilang sama diaa...??? my gosh...!"

"koq malah nuduh gw...?"

"huaaaaaaa... hadoooh... pasti mempermalukan gw..."

baiklah...baiklah... aku jelaskan... Yang menyapa barusan via facebook's chat-room adalah Ardi, manusia supel yang rame dan hobi sekali menggoda orang lain. Berbincang dengannya membuat kita (aku tepatnya) merasa telah menjadi sahabatnya dari dahulu kala, walaupun baru mengenalnya dalam beberapa jam percakapan. Kami datang ke kota ini dalam satu rombongan pemberangkatan, yang langsung membuat satu persamaan nasib untuk mengawali sebuah persahabatan. 

Percapakan diatas merupakan lanjutan dari percapakan-percakapan sebelumnya, yang... seperti bisa diduga bahasannya adalah tentang cowok aka pacar yang berarti sekali lagi membahas tentang kemungkinan untuk merubah status "single" nya Vie. 

Hey..hey.. ya...! Masih ingat kah tentang seseorang yang namanya tak mau di sebut Vie selama ini..? Sampai sekarang pun Vie masih tak ingin menyebutnya karena alasan yang berbeda. Jika dulu menyebut nama itu menjadikannya tak berdaya, sekarang mengingat nama itu membuatnya jijik. Ya, jijik..! Hanya karena sebuah fakta sederhana yang baru diketahuinya belakangan bahwa dia yang namanya tak mau Vie sebut, ternyata seorang munafik yang kata-kata nya tak bisa dipercaya. Sebenarnya itu bukan fakta baru, harusnya Vie telah menyadari selama ini. Memangnya apa yang dia-yang-namanya-tak-mau-disebut itu ucapkan ke-kekasih sewindu nya bisa dipercaya? Hanya bodohnya selama ini Vie menyangka semua ucapan ke dirinya adalah jujur. Sekurangnya Vie berpikir dia-yang-namanya-tak-mau-disebut itu jujur tentang kondisi dirinya kepada Vie. Tapi yah... itulah naive nya Vie. Dan sudahilah berbicara tentang masa lalu.

Mari kembali ke saat ini. Saat Vie menjadi malu sampai ke ubun-ubun karena mendapat salam dari Pak ustad..? Sebenarnya bukan karena itu. Vie cukup menganal Ardi dan cara-caranya men-comblangin orang lain. Persis seperti cara anak sma. Yang menggoda-goda dan berkirim-kirim salam. Sangat tidak... tidak... tidak... ok!

Dan... mendapat salam dari pak ustad ala Ardi pastilah diawali dengan cara dia yang entahlah.. pasti dia telah berhasil membuat kesan pada Pak Ustad kalo Vie sedang meng-gilai-nya setengah mati. Pak ustad yang dimaksud sebenarnya bukan seorang ustad berjenggot dan bersorban. Hanya seorang dosen muda seumuran dengan Vie yang sedang mengambil PhD di universitas yang sama. Hanya karena ilmu agama juga ok, dia sering diundang jadi pembicara di kegiatan-kegiatan agama dan jadilah panggilan pak ustad melekat ke dirinya.

Kembai ke urusan salam dari Pak ustad. Ternyata yang terjadi adalah... Ardi (seperti yang telah Vie duga) "mempromosikan" Vie (entah dengan cara apa, Vie pun tak ingin tahu, tak ingin menambah malu) pada Pak ustad dan keep teasing him sampe akhirnya sang ustad menyerah dan berkirim salam (balik..!). Sama sekali tidak OK!

Satu-satu nya hal yang paling di benci Vie saat berurusan dengan makhluk berbeda jenis kelamin dengan nya adalah saat mereka merasa dan tau bahwa seorang cewe tertarik dan kemudian akan menganggap mereka sebagai fans yang harus di "maintain". Dan herannya mereka bisa berubah drastis setelah mengtahui fakta ini. Berubah dari sikap sopan menjadi menyebalkan. 

Jadi sekarang... coretlah nama Pak ustad dari daftar cowok menarik. Karna dia akan berubah menjadi menyebalkan dan akan sangat self-aware jika nanti bertemu dengan Vie lagi. 

Vie membalas cepat semua tulisan Ardi di chat-room. Menyatakan dia tidak tertarik lagi dengan Pak Ustad, walau berkali-kali Ardi mengajukan pertanyaan yang sama tentang serius atau tidak nya dia tentang hal itu. Pasti, tidak diragukan lagi, Pak Ustad tak lagi menarik. Tak akan ada lagi chasing game, bukan dari pihak Vie nya. Itu bukan bagian yang menarik bagi dirinya. Tapi dari pihak nya Pak Ustad nya, apakah para pemburu mengetahui bahwa mangsa mereka juga menikmati saat-saat perburuan? Tak peduli hasilnya sang mangsa tertembak mati atau berhasil meloloskan diri, permainan itu sangat dinikmati. Dan sekarang bagi Vie semua telah berakhir bahkan sebelum sempat dimulai. Thanks to Ardi. Ayo kita mengintai pemburu lainnya.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : After this assignment...


#52-20, 5 October 2010 22.30 ADST


" So... we are going to Vietnam..!!"

" Yea...! for only 200 bucks..!"

" dan itu udah termasuk tiket KL-Padang...!"

" Yup... return..! haha... "

Vie dan Arms tak dapat berhenti tertawa selama percakapan itu. Mereka sedang di living room, dua laptop terkembang, cemilan dan gelas dimeja, lembaran jurnal dan text book berserakan dan mereka sibuk merencakan summer holiday di bulan January mendatang.

" We are crazy....! Berapa assignment lagi yang harus di kumpulkan..? Aku punya 3 yang due minggu depan... dan 2 lagi seminggu kemudian..."

Vie memberikan cengiran lebar ke Arms sebelum menjawab dengan bangga nya..

" Kuliah kita cuma tinggal 4 minggu lagi kan..? Satu due besok, 3 lagi di setiap minggu berikutnya dan 1 di minggu kedua ujian... Daaan.... aku ada 2 minggu kelas intensif mulai tanggal 11 Oktober... Mudah-mudahan subject itu ngga ada ujiannya... Jadi cuma 2 ujian semester ini..."

" Great..! Ke empat subject ku ada ujian nya... "

" Sekurangnya setelah itu kamu bebas, aku pasti masih punya beberapa assignment lagi dari subject intensif itu setelah exam, sama seperti semester lalu... "

" hmm... yeah.... "

Mata Arms menelusuri kertas dan buku yang berserakan disekitar mereka, dan Vie mengikuti pandangan mata nya sebelum mereka saling menatap dan nyengir lebar. Dan tanpa kata mereka kembali menekuni laptop masing-masing.

Cuaca cerah hari ini di Melbourne, seminggu terakhir ini winter telah benar-benar menghilang tanpa jejak. Jadi tak ada lagi menggigil didepan heater dan tidak perlu lagi menyalakan electric blanket di malam hari karena flat tua yang mereka tempati ini tidak memiliki pemanas sentral. Akhirnya tak perlu lagi memakai jaket setiap hari.

" Ayo kita jogging kapan-kapan di Princess Park.. Cuacanya bagus... " kurang dari 5 menit menekuni tugas nya Vie kembali membuka percakapan.

" Yeah... After I finish this assignment... "

" Yeah... same here..."

Dan hening kembali menyapa ditingkahi suara ketikan. Vie bisa membayangkan dengan cuaca seperti ini, pasti lapangan rumput di Uni telah dipenuhi para pelajar yang berjemur untuk memenuhi kebutuhan vitamin D mereka, tak ketinggalan sepetak rumput di depan state library yang tak pernah sepi dari jajaran tubuh manusia saat matahari tak menyembunyikan sinarnya. Dan mereka, dua manusia yang jauh dari tempat kelahiran masing-masing, negara kepulauan bermandikan sinar matahari, berkurung di dalam rumah berusaha mencerna dan menulis tugas kuliah, tapi diam-diam menyusun rencana liburan di kepala masing-masing.

" We have to find a boyfriend... " kali ini Arms yang bersuara

" Yeah.. after I finish this assignment.. "

" haha... "

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Mellow... Shallow... Yellow....


#52-20, 5 October 2010 22.12 ADST


Ini sudah seperti diary saja isinya. Dan Vie sangat mengenali isi diarynya. Tak pernah ada cerita bahagia. Vie sama sekali tak memiliki mood sedikitpun untuk menulis dikala bahagia. Lebih banyak dia habiskan untuk berbagi bersama teman-temannya. Dan saat sepi mendera, dia seperti tak punya teman untuk berbagi. Atau mungkin tak ingin berbagi derita? Hanya jemarinya yang lincah menari menoreskan cerita.

Sebaiknya tak usah dilanjutkan. Ini hanya fase bulanan yang sering menghampiri.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Being Single..


#52-19, 24 September 2010 18.30 AEST


Adakah orang yang bisa memahami kalau berkeluarga, atau menikah bukanlah tujuan utama hidup Vie..? Tentu saja dia bukan dalam konteks tidak mau untuk menikah. Hanya itu bukan tujuan utama, bukan pencapaian utama dalam hidup nya. Dia tidak akan mengerahkan segala daya upaya nya hanya untuk mengubah status menjadi "married", atau hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dan atau untuk berstatus sama dengan kebanyakan teman-teman nya. Yang terakhir tidak terlalu menuntut. Kebanyakan teman-teman nya disini single. Yang berkeluarga malah terlihat "repot. Dan dia sama sekali tidak "iri" dengan teman-teman nya yang telah berkeluarga. Dia malah melihat ada kerlingan "iri" dari teman-teman nya yang telah berkeluarga melihat kebebasannya. Seperti yang dia simpulkan, manusia tidak pernah puas dengan dirinya sendiri.

Dia tau bahwa dia tidak bisa membahas masalah ini dengan teman wanitanya yang telah berkeluarga. Mereka mungkin akan membentengi diri tentang kebanggaan nya sebagai ibu dan kebanggaan memuat bahagia suami nya. Tapi herannya dia bisa membahas masalah ini dengan para "suami". Mereka justru memahami keterbatasan seseorang yang telah berstatus sebagi istri, sekencang apapun para istri bersuara kalau mereka bebas berbuat seperti para wanita single, anak tetaplah inti utama dunia mereka. Atau untuk segelintir yang belum memiliki anak, kebahagiaan suami adalah tujuan utamanya. Bukan hal yang mengherankan para istri mau belajar memasak, belajar dandan, atau berbuat apapun yang biasanya tidak mau mereka lakukan saat masih berstatus single hanya atas dasar ingin membahagiakan suaminya. Dan Vie berpikir; usaha apa yang telah di perbuat suami untuk membahagiakan sang istri itu..? Bahkan untuk urusan ekonomipun, banyak istri harus bekerja. Mereka menyebutkan kesetaraan, kebahagiaan memiliki uang sendiri. Dan apakah para suami memiliki segelintir kebahagiaan saat harus membersihkan rumah, mencuci atau memasak jika mereka tidak membayar orang lain untuk melakukan itu..?

Vie tidak bisa menggambarkan apa yang berkecamuk dikepalanya tentang urusan berkeluarga. Dia sama sekali tidak memandang rendah atau menentang apapun yang dilakukan para istri untuk suaminya. Dia pun mungkin akan melakukan semua itu untuk suaminya nanti. Tapi disinilah masalah nya. Dia tidak mau melakukan itu semua, tidak mau menikah hanya karena terpaksa akan kondisi, hanya karena mengikuti atau manakuti omongan orang. Dia tidak mau "mengorbankan" hidup nya untuk seseorang yang tidak menghargainya. Untuk seseorang yang hanya menginginkan pendamping untuk mengurusi kebutuhan sehari-hari nya. Untuk seseorang yang menganggap memiliki istri sama artinya memiliki seseorang untuk mengurusi dan menghidangkan makanan.

Menyentuh 33 tahun usia nya di dunia ini, Vie menyadari, seorang pria yang memiliki ambisi dalam hidup nya, biasanya menikah dalam usia muda, sehingga ada seseorang yang mengurus hidup nya selama dia mengejar mimpinya. Kebalikan untuk wanita yang berambisi, biasanya menikah di usia lebih tua karena tak mau ribet mengurusi orang lain selama dia mengejar mimpinya. Kecuali jika mimpinya itu sendiri adalah memiliki keluarga, mengurus anak, dan membahagiakan suami.

Di hari ulang tahunnya yang ke-33 ini, Vie merayakannya dalam kesendirian. Mensyukuri keadaan diri nya, kondisi hidup nya, dan mimpi yang masih dia peluk. Bahagia dia tidak seperti sahabatnya yang sangat terobsesi untuk memiliki pacar dan bertujuan untuk menikah. Mensyukuri bahwa dia masih memiliki mimpi dan berani untuk mengejarnya. Mensyukuri dia masih bisa bersyukur. Mensyukuri bahwa dia masih bisa menjadi lebih baik. Dia melihat segala hal yang masih bisa dia ingat dalam perjalanan 33 tahun hidup nya, menyadari segala kelebihan dan kekurangannya, bersyukur dia bisa melihat kesalahannya, bersyukur dia telah berbuat banyak kesalahan, menyadarinya, memiliki kesempatan memperbaiki dan menjadi lebih baik. Dan yang paling dia syukuri adalah dia tidak pernah merasa dirinyalah yang paling benar, tidak pernah bisa melihat orang lain totally salah, dan selalu berusaha melihat dari dua sisi.

Berstatus single di usianya yang ke 33 tahun ini tidak membuatnya bersedih. Dia tau dia bisa memberi lebih banyak manfaat bagi orang-orang disekitarnya dengan status single nya ini dan dia tau Tuhan tau yang terbaik bagi dirinya dibanding orang-orang sok peduli yang mempertanyakan status singlenya.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : On the way to Dookie..


#52-18, 20 September 2010 10.47 AEST


Ini hari pertama mid semester break. Dan lupakan lah leyeh-leyeh di pagi hari dan bebas melakukan apapun yang disuka seharian ataupun merencanakan perjalanan mengisi liburan. Ini hari pertama mid semester break, untuk 2 minggu ke depan tanpa kelas. Tapi apa bedanya ada kelas ataupun tidak. Di hari biasapun Vie hanya perlu ke kampus dua hari seminggu untuk kelasnya. Kelas bukan porsi terbesar dalam kehidupannya di sini.

Ini hari pertama mid semester break untuk dua minggu ke depan. Matahari besinar cerah diluar sana, cahayanya langsung melewati jendela lebar bis dan menyilaukan pandangan nya ke layar laptop. Benar.. liburan, hari cerah, didepan laptop dan didalam bis. Bis yang melaju di jalanan mulus Victoria menuju nothern country, tepat nya ke Dookie. Bukan untuk berlibur, tapi untuk field trip 4 hari ke daerah yang jauh dari peradapan. Nyaris jam sebelas, dan dia telah nyaris dua jam duduk di kursi ini, nyaris 3 jam dari upayanya mengejar tram sambil membopong tas ransel besar. Nyaris 5 jam dari keterbangunannya di pagi hari karna ketakutan akan ketinggalan bis. Nyaris 10 jam dari keterlelapannya tadi malam setelah berjuang dan menang mengatasi kemalasan berkemas untuk berangkat.

Ketika semua memasukkan bagasinya ke bus, ransel besar tadi pagi yang membuatnya susah keluar dari tram yang berjubel manusia pagi, terlihat sangat kecil dibanding semua travel bag disana. Nampaknya Vie akan kekurangan banyak hal nanti disana. Di daerah yang tidak memiliki toko yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sudahlah.. Pasrah..

Semalam bukannya langsung mempersiapkan segala hal yang butuh dibawa untuk 4hari keterasingannya, Vie malah asik membaca PhD comic. Lucu. Memantapkan tekad nya untuk tidak akan mengambil PhD dimasa depan yang berarti dia tidak perlu untuk mengambil Project B tahun depan. Cukup dengan Project A yang hanya small project.

Diluar cerah sekali, matahari memberi cahaya penuh pada satu batang pohon tanpa dahan dan daun di tengah padang rumput. Diluar hanya terlihat perbukitan padang rumput. Tak ada hutan sama sekali. Mereka telah mengubahnya menjadi lahan merumput para ruminants. Dan sekarang mereka berkoar-koar melarang negara yang belum menebang habis hutannya, menuduh kenaikan CO2 terbesar diakibatkan oleh penebangan hutan di negara-negara berkembang. Tentu saja, karna di negara mereka tidak ada lagi hutan yang bisa ditebangi. Mereka telah menghabiskannya dari jaman dahulu, yang mengakibatkan level CO2 mejadi seperti sekarang.

Matahari bersinar cerah di luar dan Vie sama sekali tak memiliki ide menarik tentang apapun untuk di tulis. Hatinya tak sedang lara, malah sedikit ceria dan gembira. Tak ada yang bisa dibaginya. Dia terlalu pelit untuk berbagi cerita disaat gembira. Tunggulah lara datang dan jemarinya kan bagai terbang menari di atas keyboard untuk menepiskan duka.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Help Me...


#52-17, 25 July 2010 22.52 AEST


Tolonglah.. Vie meratap. Pikirannya kalut. Semua hal yang dipikirnya telah menjadi masa lalu sekarang kembali mewujud menghantui dan merusak harinya. Hari ini cuaca sangat bagus dan tidak terlalu dingin. Matahari bersinar cerah dan sama sekali tidak ada nuansa winter seandainya pohon-pohon bisu yang berjejer ditepi jalan itu tidak kering meranggas botak tanpa sehelaipun daun. Ini hari yang cerah. Berkebalikan dengan suasana hatinya.

Tempat kita hidup hanya background. Kehidupan itu tak ada bedanya. Baik di negri empat musim, dua musim atau pun tak bermusim. Di negara yang dikelompokkan maju dan tidak maju yang dibuai dalam harapan sedang berkembang, kehidupan itu sama. Negeri empat musim tak bisa mengobati hati Vie. Negeri empat musim tak bisa menggembirakan jiwa nya. Negeri empat musim tak menghindarkannya dari masalah kehidupan. Negeri empat musim hanya menambah beban pikirannya untuk bertahan melewati musim yang tak bersahabat.

Bahagia, sedih, gembira, marah itu hanya rasa di hati, di dalam diri. Tak peduli dimanapun tempatmu berada, di lobang tikus atau di istana raja, semua sama. Dan Vie hanya bisa menarikan lebih cepat jemari nya di keyboard. Berusaha menumpahkan semua sesal dan amarah nya dalam rangkaian kata tak tertata. Seseorang di seberang sana mengerti. Walo tulisannya kadang tak menceritakan jelas apa yang ingin dia bagi. Seseorang diseberang sana mencoba mengerti. Dan seorang lagi tak pernah bisa Vie mengerti, sebesar apapun usahanya mencoba untuk mengerti. Hingga jiwa nya berontak dan tak bisa lagi bertahan. Hingga logika berperang dengan perasaan dan mengkhianati tubuhnya yang penat.

Ingin Vie untuk menghentikan perseturuan hingga disini. Dengan mengikuti kemauan hati atau memilih logikanya. Tapi tak ada yang mau mengalah. Hatinya tak mau menerima saat logika mengulas ribuan fakta dan data, lengkap dengan rekaman jelas semua peristiwa. Hatinya hanya mampu mengiba merasa. Makin menggumulkan segala rasa; benci, kecewa, marah, sedih, duka, tak percaya dan nestapa. Logika menyatakan diri tak mampu untuk menanggung semua rasa itu. Berilah sedikit gembira. Sekurangnya untuk hari ini yang cukup cerah ini. Berilah sedikit bahagia, sekurangnya untuk lezatnya secangkir air pelepas dahaga tadi. Dan hatinya hanya berkerut bergumul dengan semua rasa kecuali gembira dan bahagia.

Dan Vie hanya bisa meratap. Berusaha mencari sasaran pelepasan nestapa nya. Mencari sang sumber pembuat derita dan menimpakan semua kesalahan padanya. Menghina, menjatuhkan, menuduh, menghakimi, dan mengumbar semua aib nya. Berharap dapat mengurangi deritanya semula, dan menambahkan rasa puas di hati. Tapi Vie tak memperolehnya. Tak ada puas, jangankan gembira dan bahagia. Hanya mengganti derita dengan nestapa dan disisipi pedih. Cukup lah sampai disini. Apa diam bisa membantu ku? Mengurung diri dalam sepi dan hanya diri sendiri.

Mungkin sebaiknya tidur saja. Menyambut gelap tanpa rasa dan logika. Dan Vie bergerak mematikan semua lampu kamarnya. Membelalak dalam gelap menyambut kesunyian semantara tanpa peperangan antara rasa dan logika.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Hati dan Pikiran


#52-16, 19 July 2010 19.40 AEST


Jika hati yang bicara
Tak tahu apa yang akan terucap
Semua bisa terungkap
Jika pikiran t'lah pergi meninggalkan raga
Semua bisa terjadi

Pikiran dan hati bersatu dalam jawab
Menutup, melindungi, mengamankan semua kejadian
Diam tak berbekas
Menepis asa yang terucap

Tak satu katapun bisa mewakilkan
Tak ada yang bisa terungkap dengan kata
Hanya hati dan pikiran yang tahu semuanya
Semua ada dalam hati dan pikiran


Cabikan kisah dari masa lalu itu sedikit menyentak di tengah kebosanan hari ini. Apa yang ada dalam hati dan pikiran ku saat menyapukan bait-bait kalimat itu dalam tinta hitam? Entah dimana.. mungkin dibalik lembar soal ujian. Karena dulu, di jaman SMA saat tulisan itu aku buat, aku punya banyak waktu untuk merenung di saat ulangan harian. Bukannya berusaha untuk menemukan jawaban yang benar diantara pilihan abjad a-b-c-d-e itu, aku malah sibuk menuliskan hal-hal di benak yang sama sekali tidak ada hubngannya dengan mata pelajaran yang sedang di ujikan.

Bagai hantu dari masa lalu. Apa yang ada di pikiran ku saat itu? Apa yang aku lakukan selama di sekolah yang mengiklankan diri sebagai sekolah terbaik di nusantara itu? Saat aku bertemu dengan gerombolan adik kelas yang sedang mengikuti "holiday program" di Melbourne.. Satu kalimat dariku yang membuat mereka terbengong dengan ekspresi yang sama saat aku bilang "paling suka melihat bintang yang bertaburan bagai pasir di langit malam saat RPS" adalah saat aku menyatakan "aku menyesal karena tidak rajin belajar selama di SMA"

Kebingungan pertama tentang RPS langsung di jelaskan oleh pamong pendamping mereka bahwa dahulu RPS dilakuka selama 3 hari, sementara sekarang RPS hanya dalam waktu satu hari, aku lupa jam berapa berangkatnya, yang berakhir jam 2 siang setelah makan siang. Dan rombongan siswa diikuti oleh rombongan keluarga seperti pelepasan jemaah haji. Hanya kali ini tidak dilepas, tapi diikuti oleh iringan konvoi mobil-mobil hingga titik akhir. Tak ada lagi lagi malam bertabur bintang, tak ada lagi minuman dicampur garam. Tergantikan oleh panas nya aspal disengat terik matahari dan minuman kaleng dingin serta buah-buah impor.

Kebingungan kedua karena dulu aku tidak rajin belajar dan sekarng berada di kota ini melanjutkan study dengan beasiswa. Menurut mereka mungkin ini ambigu, atau malah terkesan menyombongkan diri? Padahal tidak ada ambiguitas disana, tidak ada maksud menyombongkan diri seolah aku pintar hingga tak perlu rajin belajar. Jika aku tidak malas belajar dulu waktu di SMA, tidak akan berada disini aku saat ini. Atau mungkin juga masih tetap berada disini tapi dengan niat dan impian yang berbeda. Apapun itu tak ada yang aku sesali. Hanya merasa sesuatu pasti akan berbeda kalau dulu aku tidak malas belajar. Mungkin banyak hal yang akan berbeda jika aku bersungguh-sungguh belajar. Atau kembali lagi.. tidak ada yang berbeda.. entahlah.. tak ada yang tahu jawabannya.

Liburan semester masih akan berakhir seminggu lagi, tapi aku telah kembali ke rutinitas lama. Di depan komputer dan berusaha untuk belajar dan mengerjakan tugas. Tapi berakhir dengan membuka forum, facebook, youtube, dan chatting. Dan ketika kantuk menyerang di tengah malam, aku merefleksi kegiatan sepanjang hari dan menyesali diri. Sama seperti aku menyesali tidak rajin belajar di SMA.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Ku Bahagia


#52-14, 7 July 2010 13.04 AEST


"Mengapa banyak toko-toko baju bersebelahan dengan groceries shops?"

Dan Vie menemukan jawaban nya siang tadi. Sebenarnya siang tadi pula pertama kali otaknya mengajukan pertanyaan itu. Mengapa saat berniat berbelanja kebutuhan sehari-harinya, dia harus melewati banyak toko baju yang memajang tulisan "SALE" dan "DISCOUNT" ?

Tapi tak masalah, 3 potong baju tak akan mengeringkan dompet nya, pikir Vie. Tapi kemaren dia baru menghabiskan 5 hari di Sydney, walau hampir tidak sempat berbelanja karena sibuk mengunjungi exhibition dan icon-icon wisata disana. Sambil berjalan pulang dengan membawa kantong-kantong belanjaan nya, pikiran Vie berputar memikirkan menu untuk makan malam nya. Masih ada rendang yang dia bikin 3 hari yang lalu, tapi dia sudah bosan memakannya. Hasil dari kesalahan prediksi persiapan menjamu tamu. Para tamu nya hanya memakan kurang dari seperempat rendang yang dibuat Vie, mengakibatkan dirinya harus memakan rendang itu setiap hari.

Sendiri, berbelanja kebutuhan sehari-hari dan memikirkan menu harian. Tak ada yang berbeda dengan kehidupannya di kampung halaman dulu. Tak ada yang istimewa dari hidup di negri orang ini. Aktifitas yang sama, bahkan lebih menyenangkan di rumah karena tak perlu memikirkan cucian dan setrikaan. Tak perlu pusing mengerjakan tugas-tugas kuliah. Liburannya memang seru ketika bisa jalan-jalan ke tempat yang belum pernah di datangi. Tapi memang hanya disanalah, enaknya hanya untuk berlibur. Jadi datanglah kesini sebagai traveler, bukan untuk menetap. Dan itulah yang tak bisa Vie lakukan. Dia tak akan mampu. Jadi untuk bisa menikmati liburan di negeri kangguru pun, dia harus berjuang menjadi pelajar. Vie menyadari nya. Dia tidak punya mimpi untuk menjadi ilmuwan atau pengamat atau ahli. Tak ada ambisi. Dia hanya ingin bertualang.

Vie bukan nya sedang menyesali perjalanan hidupnya. Dia hanya ingin melihat dari sudut yang berbeda. Dengan segala kesan heboh yang terlihat oleh teman-temannya di Indonesia. Kemaren Heri, teman kuliahnya yang baru mengetahui Vie berada di Melbourne, menulis di wall fb Vie: "waaah.. dah lama di Melbourne ya? ngga ketemu nasi lagi donk?"

Dan Vie hanya bisa meringis. Menyadari fakta dia nyaris tidak pernah makan makanan lain selain masakan Indonesia. 

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Time Flies…


#52-13, 21 May 13.04 AEST


Vie memandang keluar jendela tram 19 yang tengah menapaki perlahan Royal Parade Street. Beberapa stop lagi menuju university nya. Pemandangan telah berubah dari toko-toko sepanjang Sydney road menjadi barisan rapi pepohonan yang daunnya telah berubah menjadi kuning dan berguguran. Autumn di Melbourne. Matahari bersinar terik dan orang-orang berjalan cepat dengan sedikit membungkuk ,memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket dan rambut berkibar di tiup angin bersuhu 14 C. Dua orang polisi berseragam terlihat mengayuh santai sepedanya sejajar sambil bercakap di lintasan Princes Park. Dan seperti yang dia harapkan, matanya menangkap bayangan yang di carinya di track taman itu. Pelari. Kali ini hanya seorang. Seorang yang barangkali sangat konsisten dengan jadwal larinya, atau seseorang yang memutuskan untuk jogging setelah melihat terik matahari dari dalam rumahnya tanpa menyadari bahwa udara sangat dingin. Tapi barangkali dia jadi tidak merasa dingin ketika berlari.

Berlalu.. 3 stop lagi menuju universitasnya. Pepohonan di kiri-kanan jalan yang terlihat berjajar rapi sangat menyentak pikiran. Dan sebungkah rasa entah apa menyelip di hatinya. Vie ingin mengabadikannya. Ingin mengajak adik nya yang hobi fotografi untuk mengabadikan barisan pohon berkepala kuning dengan tumpukan daun coklat kemerahan yang telah gugur di dasarnya. Dan barisan pohon itu. Ada sesuatu yang mengganggu tentang kerapian ini. Berbaris, kuning, menjajari jalan dengan lintasan tram di tengah. Sebenarnya apa yang membuat Vie begitu terobsesi dengan pohon yang berjajar rapi ini? Entah lah. Mungkin karena kerapiannya? Huh… mengapa aku masih memikirkan tentang pepohonan ini…

“We are so lucky, right…?”

Arms, yang duduk disebelahku bersuara mengaget kan. Aku dan Arms baru saja kembali dari melihat sebuah unit di daerah coburg, hanya beda 2 stop tram dari rumah ku sekarang. Kontrak akomodasi kami sama-sama akan berakhir di bulan Juni, dan kami memutuskan untuk sharing.

***

"For free...??" aku dan Arms serempak bertanya dengan nada tak percaya, sementara Ningsih dan Diana, mahasiswa Indonesia yang hampir menyelesaikan Master nya dan akan pulang kembali ke Indonesia for good bulan depan, menjelaskan dengan santai nyaris tanpa semangat..

"Ya... Karna kita juga dapat semua furniture ini dari mahasiswa Indo yang nempatin unit ini sebelum aku. Dia juga take over dari yang sebelum nya... Mahasiswa Indo juga.. hehe... Hmm.. kalo ngga salah dia take over semua barang dari sebelum nya $300, aku take over dari dia $150... dan buat kalian.. ya... free aja.. lagian kita ngga mau repot ngosongin unit ini buat balikin ke agent nya..."

"Wah.. makasih... kemaren kita udah pusing mikirin nyari and ngangkut kasur dan barang2 penting lainnya kalo pindahan... Yakin ini free mbak..?"

"Iya.. Bed sie udah pasti ada ya... nie, kulkas nya gede khan, itu tv, ada laundry machine, itu printer kalo mau... tapi ada beberapa barang yang bukan punya aku nie, bakal diambil lagi sama yang punya. Itu microvawe buat kalian, toaster, oya ada sepeda juga di bawah.."

"Sepeda juga...? Wow.."

"Iya, kita ngga mau repot"

Diana dan Ningsih saling menimpali memberi penjelasan tentang segala hal di unit 2 kamar yang memiliki living room dan dapur yang cukup lega ini.

Aku membayangkan pasti Tunga akan terkagum-kagum mendengar barang2 lengkap hasil lungsuran gratis itu. Karna dulu aku masih ingat bagaimana repotnya dia pertama kali pindah ke unit kosong melompong. Barang-barang kecil seperti sendok, garpu, gelas dan perkakas nya cukup merepotkan selain barang-barang-wajib-ada yang besar-besar. Memang kebanyakan mahasiswa tidak akan membeli baru, bisa diperoleh dari pinggir jalan atau garage sale atau membeli murah bahkan lungsuran dari teman-teman yang akan balik ke Indonesia, tapi tetap membutuhkan biaya (yang bahkan kadang lebih mahal dari harga beli) untuk biaya transpor nya. Dan sekarang aku dan Arms memperoleh semua yang dibutuhkan lengkap di dalam rumah itu FOR FREE..! Pastinya kami tidak melewatkan kesempatan ini walaupun lokasi unit ini cukup jauh dari University, tapi akses ke uni sangat gampang. Jadi tak masalah.

***
“Yaa… we are so lucky…” ucapku menyetujui. Dan kami kembali terdiam dalam pikiran masing-masing.

Tanpa terasa satu semester hampir berakhir. Tinggal seminggu lagi, dan kesibukannya telah jauh meningkat semenjak sebulan yang lalu. Belajar, belajar dan belajar. Saat ini Vie sedikit bernafas lega, tinggal satu assignment lagi yang harus dia selesaikan. Masih ada waktu seminggu lagi dan dia telah mengerjakan separuh. Vie merasa telah mulai terbiasa dengan ritme yang dijalani nya saat ini. Hanya 3 hari menghadiri kelas, masing-masing hanya 2 jam. Dan butuh berhari-hari belajar dan membaca untuk mengerjakan essay 3000 kata atau mempersiapkan presentasi. Vie tidak lagi kaget dengan feed back yang kadang melebihi harapannya atau malah jauh dibawah harapannya. Ketegangan telah mulai mencair. Dan waktu berlalu tanpa jejak.

Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Tentang Dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut


#52-11, 3 April 10.05 AEDT


"Jangan menangis..." pintanya sambil bergegas mendekat ketika bayang airmata memenuhi kedua kelopak mataku. Tangannya merengkuh kepalaku ke dadanya tepat saat tumpahan airmata itu tak dapat lagi kubendung. Aku ingin waktu berhenti sejenak saat ini, saat aku ingin mencurahkan semua perih ku padanya. Semua kalut dan takut ku, semua pinta dan harapku, semua nya... Tapi yang ada dalam pikiran ku saat itu malah kemeja nya yang basah karena air mataku, dan itu tak boleh terjadi, karena waktu yang kami miliki ini bukan milik kami seutuhnya. Kami hanya mencuri waktu untuk bisa bersama sesaat, dan setelah ini harus kembali ke kantor. Yang ada dikepalaku apakah orang-orang yang juga sedang menikmati lunch di cafe ini melihat adegan ini. Apakah ada orang yang mengenali kami. Ini kota kecil dan semua orang saling kenal, walau posisi meja kami disudut dan sedikit tersembunyi di cafe yang cukup sepi ini, tak ada jaminan bahwa kami "aman".

"I love you.." bisik nya sebelum tangan ku dengan tegas mendorong nya menjauh.

"Maaf membuat baju mu basah" ucapku berusaha sekuat tenaga agar terdengar tenang dan mengambil beberapa lembar tisu untuk mengeringkan sisa airmata dan -yang terpenting- membuang ingus yang menbuat ku susah bernafas. Aku tahu matanya masih lekat menatapku. Memperhatikan semua tindakan ku dan mencoba membaca reaksiku. Selalu begitu. Aku tahu dia mengerti perasaan ku. Dia pasti sadar bahwa saat ini aku ingin berteriak memakinya untuk berhenti menyatakan kalau dia mencintai ku, berhenti menghubungi aku, dan menikahlah dengan pacar sewindu nya.

Dia pasti tahu saat itu aku ingin terlihat tegar, tak ingin terlihat rapuh, tak ingin terlihat membutuhkannya walau satu-satu nya hal yang aku inginkan adalah dia, karna sampai saat ini aku belum bisa memiliki nya utuh. Aku bosan berbagi dan terutama karena aku yang memperoleh bagian kecilnya dan sebagian besar orang bahkan berpikir aku tak pantas untuk memperoleh bagian itu. Bisanya orang-orang berpikir seperti itu.. Mengapa mereka tidak berpikir bahwa yang tidak pantas itu adalah dia yang membagi cintanya padaku. Aku memberikan cintaku utuh. Dan dia menerimanya. Kemudian membalas dengan separuh cintanya padaku. Dan orang-orang menyalahkan ku?? Aku yang tidak beruntung dalam transaksi ini, aku yang dirugikan.. Bukan dia..!!

Dia adalah makhluk paling beruntung yang menerima dua cinta utuh. Satu tanpa pamrih, dan aku tak tahu dan tak mau tahu tentang yang satu nya. Tapi menurutku yang satu lagi memberi jaminan. Mungkin itu sebabnya dia tak mau melepaskan jaminan itu. Walau berulang kali menyatakan dia mencintai aku. Tapi ini pikiran aku seseorang yang cukup bodoh untuk mengetahui dan menerima menjadi orang kedua. Mungkin dia juga menyatakan hal yang sama pada pacar resmi nya. Bahwa dia tidak bisa hidup tanpa dirinya. Aku tak tahu. Dan tak mau tahu.

Itu terakhir kalinya aku bertemu dengan dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut-

Aku membaca tulisan di Forum Ikastara, tentang laki-laki yang mendua dan menurut si laki-laki, dia pun menderita. What a joke..! Bagaimana mungkin dia bisa menderita? Saat dia jauh dari istrinya, dia bisa bersama dengan wanita yang dengan jujur menyatakan mencintainya. Satu-satu nya saat yang membuat dia menderita (yang bisa kutangkap) hanyalah saat sang wanita memintanya memilih. Berarti selama dia tak harus memilih, dia akan menikmati keduanya.

Mungkin dalam kasus dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut- ini, yang membuatnya tersiksa adalah keharusan menyembunyikan keberadaan aku dari kekasihnya. Yang sayang nya berada dikota yang sama, sehingga lebih susah bagi kami untuk bisa bersama. Dan karena kami sekantor, alasan kegiatan kantor merupakan solusi bagi nya.

Dan sekarang... Aku jauh di negeri orang. Lihat, ini bukan hal yang umum untuk seorang wanita "pilihan kedua". Dikebanyakan kasus, dia adalah wanita yang lebih sering bersama si laki-laki karena se-kantor, atau se-kota, atau se-negara. Sekarang aku jauh, dan dia dekat dengan kekasihnya. Dia punya alasan untuk tidak pernah lagi menelepon aku, dan MENOLAK menerima telepon ku. Karena sekarang tidak ada lagi alasan pekerjaan kantor yang bisa membuatnya dengan gampang berdusta saat menerima telpon atau sms dariku di depan kekasihnya.

Aku kenal kekasihnya. Jangan tanya dia seperti apa. Aku lebih cantik dari nya. Tapi secara pasti lebih bodoh karena mau menjadi orang kedua. Humm... Tunggu, sepertinya tidak juga, kekasihnya yang sangat bodoh, tidak menyadari bahwa pacarnya memuja ku dibalik punggungnya.

Dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut-, aku tak mau menyebutnya karena menyebut namanya membuat hatiku begolak dan nadiku berdenyut menggila. Menyebut namanya mengumbar semua rasa yang terbendung dalam didada, rindu, marah, heran, curiga, sesal, cinta, sebal, dan sebutlah semua.

Beri aku waktu merasionalkan tindakanku selama empat tahun ini. Dia membuatku nyaman, membuatku tertawa, membuatku tenang, membuat ku pasti, dan membuatku patuh pada semua perkataannya. Apa itu bagus? Terdengarnya tidak, malah makin terdengar bodoh. Dia... dia membuatku pasti... akan semua tindakan dan keputusan yang aku ambil. Bukan berarti dia yang memutuskan segalanya untuk ku. Tapi dia orang yang bisa mengambil keputusan. Tidak semua laki-laki bisa membuat keputusan. Contohnya saja keputusan gampang akan makan dimana atau nonton apa bisa menjadi obrolan yang panjang dan menyebalkan. Dengan dia tidak. Saat aku dilanda kebingungan, tidak pernah ada jawaban "terserah kamu" atau "mau kamu seperti apa"..(jika aku tau pasti apa yang aku mau, tak akan ada kebingungan). Dia memberi jawaban pasti, dengan alasan. Alasan yang bisa aku bantah atau setujui dan bisa membuatku menjadi pasti dengan ingin dan mau ku.

Dia yang aku ingin.

Kamarku semakin terasa dingin seiring bertambah teriknya matahari di luar. Sungguh ironi. Hari kedua Easter Break, semua target untuk menyelesaikan tugas dan persiapan bahan untuk project berakhir dengan seharian dikamar, mencuci dan menstrika semua pakaian, menonton dua film dan bolak-balik mengecek status ym dan fb dia-yang-namanya-tak-mau-pergi-dari-kepalaku. Suara ketukan halus dipintu kamar ku membuyarkan kenangan tentang dia.

"Ya, masuk aja..."

"Nanti ke stop 33 yuk Vie..., ngopi yang panas-panas. Dingin banget nie ngga keluar rumah..."

"Ok.. jam berapa?"

"Abis ashar aja ya..?"

"Sip.."

Rani, housmate ku yang sedang mengambil Master of Public Health di Universitas yang sama dengan ku dan setiap hari selalu terlihat sedang belajar atau mengerjakan tugas-tugasnya, kembali lenyap setelah menutup pintu kamar dengan berisik.

Sendiri di negeri orang dan memiliki banyak waktu untuk berpikir (seharusnya untuk belajar.. bukan memikirkan dia), aku semakin memahami diriku, dirinya, walau tak pernah mengerti tindakannya. Pertanyaan "mengapa dia tidak memilihku" sudah kubuang jauh.. sejauh harapanku untuk memilikinya. Pertanyaan baru "mengapa aku belum juga melupakannya" menjadi tak berguna karena dengan pertanyaan itu semua kenangan positif dirinya muncul menguatkan alasan pilihan ku untuk selalu mengingat nya.

Puisi dan tulisan ku selalu mengalir karena kenangan akan dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut. Indah dan hancurnya hariku adalah karena sapa dan penolakan nya di segala jalan komunikasi. Tenang dan gundahnya hati ku hanya karena dia memberi kabar atau tidak. Dia yang menyebut namanya saja menggeliatkan segenap pembuluh darah ku, merontakan jantungku, memabukkan hatiku, dan membuatku merasa orang terbodoh di dunia, tak mau menghilang dari hidupku.

Dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut- perlahan mulai menjauh dari hariku. Jarak memang tak berarti dengan segala teknologi. Tapi jarak bisa membatasi jika kita ingin sendiri. Aku tak ingin sendiri. Tapi aku pasti dengan inginku; aku ingin dia bahagia...

I want you to know that it doesn't matter
Where we take this road someone's gotta go
And I want you to know you couldn't have loved me better
But I want you to move on so I'm already gone

You know that I love you so, I love you enough to let you go

~Kelly Clarkson; Already Gone