Tuesday, March 27, 2012

Was That a Miracle?

Setelah saya meracau menginginkan suatu keajaiban terjadi, sekarang saya melihat kebelakang untuk memahami apakah saya baru saja mengalami nya. Jika ini adalah sebuah cerita drama fiksi, mungkin saya harus mengakhirinya disana, dan saya mendapatkan Happy Ending yang selalu saya inginkan. Mengakhirinya disana. Saat bahagia.

Ketika saya menginjakkan kaki di Jakarta dan memiliki kesempatan untuk mengecek email saya. Saya menerima sebuah email dari Universitas yang memberikan admission letter atas aplikasi saya 20 hari sebelumnya. Ya, cuma  butuh 20 hari. Tentu saja saya gembira walau itu tidak berarti bahwa saya bisa melanjutkan study di Universitas itu. Saya masih membutuhkan sponsor untuk biaya kuliahnya. Harusnya berakhir disana, saat gembira. Bukan sekarang, saat kakak saya menyampaikan berita bocoran tentang beasiswa yang dikurangi dan diperioritas kan untuk golongan tertentu, atau saat bos saya tidak mengijinkan saya untuk kuliah lagi. Tapi bukan berarti perjuangan telah berakhir teman! I'll find my way..!

Derita saya beberapa minggu yang lalu menguap dan tak terpikirkan. Penerimaan. Dan ternyata tak seburuk yang saya bayangkan. Bisa saya jadikan another happy ending. Tentu saja tanpa lanjutan untuk saat ini.

Ternyata saya tak perlu meminta yang aneh-aneh. Saya hanya butuh ketenangan hati dan harapan.

Acceptance.
Sebuah kata pembelajaran yang diucapkan lagi oleh seorang yang telah lama putus komunikasi dengan saya dan belakangan kembali menjalin silahturahmi.

Pasrah? Bukan, tapi nrimo, ikhlas.
Apa yang telah terjadi dan diluar kuasa saya, diluar kontrol saya. Tak ada yang bisa saya lakukan.

Terakhir kali saya mengalami hal seperti ini, saat merasa perasaan bisa membuat saya gila, pada suatu titik saya juga ikhlas akan apa yang terjadi. Dan tanpa diduga kondisi nya berbalik membaik. Saya tidak mengharapkan cerita yang serupa kali ini. Terlalu naive. Tapi tentu saja saya tidak menolak kalau itu kembali terjadi tapi akan saya ubah ending nya menjadi lebih baik. Tentu saja happy ending.

Saya hanya ingin ketenangan ini tetap bersama saya. Saya tak ingin ada sesal yang menyesakkan dada lagi di masa depan. Tak ada pertanyaan "what if" dan menyalahkan diri sendiri.

I do need a miracle, I believe I deserve it and I'll have it.


2 comments:

- HQ - kiko - said...

kuliah aja!

VAP said...

baiklaaaah....