Menyingkap Kabut di Negeri Empat Musim #52 : Tentang Dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut
#52-11, 3 April 10.05 AEDT
"Jangan menangis..." pintanya sambil bergegas mendekat ketika bayang airmata memenuhi kedua kelopak mataku. Tangannya merengkuh kepalaku ke dadanya tepat saat tumpahan airmata itu tak dapat lagi kubendung. Aku ingin waktu berhenti sejenak saat ini, saat aku ingin mencurahkan semua perih ku padanya. Semua kalut dan takut ku, semua pinta dan harapku, semua nya... Tapi yang ada dalam pikiran ku saat itu malah kemeja nya yang basah karena air mataku, dan itu tak boleh terjadi, karena waktu yang kami miliki ini bukan milik kami seutuhnya. Kami hanya mencuri waktu untuk bisa bersama sesaat, dan setelah ini harus kembali ke kantor. Yang ada dikepalaku apakah orang-orang yang juga sedang menikmati lunch di cafe ini melihat adegan ini. Apakah ada orang yang mengenali kami. Ini kota kecil dan semua orang saling kenal, walau posisi meja kami disudut dan sedikit tersembunyi di cafe yang cukup sepi ini, tak ada jaminan bahwa kami "aman".
"I love you.." bisik nya sebelum tangan ku dengan tegas mendorong nya menjauh.
"Maaf membuat baju mu basah" ucapku berusaha sekuat tenaga agar terdengar tenang dan mengambil beberapa lembar tisu untuk mengeringkan sisa airmata dan -yang terpenting- membuang ingus yang menbuat ku susah bernafas. Aku tahu matanya masih lekat menatapku. Memperhatikan semua tindakan ku dan mencoba membaca reaksiku. Selalu begitu. Aku tahu dia mengerti perasaan ku. Dia pasti sadar bahwa saat ini aku ingin berteriak memakinya untuk berhenti menyatakan kalau dia mencintai ku, berhenti menghubungi aku, dan menikahlah dengan pacar sewindu nya.
Dia pasti tahu saat itu aku ingin terlihat tegar, tak ingin terlihat rapuh, tak ingin terlihat membutuhkannya walau satu-satu nya hal yang aku inginkan adalah dia, karna sampai saat ini aku belum bisa memiliki nya utuh. Aku bosan berbagi dan terutama karena aku yang memperoleh bagian kecilnya dan sebagian besar orang bahkan berpikir aku tak pantas untuk memperoleh bagian itu. Bisanya orang-orang berpikir seperti itu.. Mengapa mereka tidak berpikir bahwa yang tidak pantas itu adalah dia yang membagi cintanya padaku. Aku memberikan cintaku utuh. Dan dia menerimanya. Kemudian membalas dengan separuh cintanya padaku. Dan orang-orang menyalahkan ku?? Aku yang tidak beruntung dalam transaksi ini, aku yang dirugikan.. Bukan dia..!!
Dia adalah makhluk paling beruntung yang menerima dua cinta utuh. Satu tanpa pamrih, dan aku tak tahu dan tak mau tahu tentang yang satu nya. Tapi menurutku yang satu lagi memberi jaminan. Mungkin itu sebabnya dia tak mau melepaskan jaminan itu. Walau berulang kali menyatakan dia mencintai aku. Tapi ini pikiran aku seseorang yang cukup bodoh untuk mengetahui dan menerima menjadi orang kedua. Mungkin dia juga menyatakan hal yang sama pada pacar resmi nya. Bahwa dia tidak bisa hidup tanpa dirinya. Aku tak tahu. Dan tak mau tahu.
Itu terakhir kalinya aku bertemu dengan dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut-
Aku membaca tulisan di Forum Ikastara, tentang laki-laki yang mendua dan menurut si laki-laki, dia pun menderita. What a joke..! Bagaimana mungkin dia bisa menderita? Saat dia jauh dari istrinya, dia bisa bersama dengan wanita yang dengan jujur menyatakan mencintainya. Satu-satu nya saat yang membuat dia menderita (yang bisa kutangkap) hanyalah saat sang wanita memintanya memilih. Berarti selama dia tak harus memilih, dia akan menikmati keduanya.
Mungkin dalam kasus dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut- ini, yang membuatnya tersiksa adalah keharusan menyembunyikan keberadaan aku dari kekasihnya. Yang sayang nya berada dikota yang sama, sehingga lebih susah bagi kami untuk bisa bersama. Dan karena kami sekantor, alasan kegiatan kantor merupakan solusi bagi nya.
Dan sekarang... Aku jauh di negeri orang. Lihat, ini bukan hal yang umum untuk seorang wanita "pilihan kedua". Dikebanyakan kasus, dia adalah wanita yang lebih sering bersama si laki-laki karena se-kantor, atau se-kota, atau se-negara. Sekarang aku jauh, dan dia dekat dengan kekasihnya. Dia punya alasan untuk tidak pernah lagi menelepon aku, dan MENOLAK menerima telepon ku. Karena sekarang tidak ada lagi alasan pekerjaan kantor yang bisa membuatnya dengan gampang berdusta saat menerima telpon atau sms dariku di depan kekasihnya.
Aku kenal kekasihnya. Jangan tanya dia seperti apa. Aku lebih cantik dari nya. Tapi secara pasti lebih bodoh karena mau menjadi orang kedua. Humm... Tunggu, sepertinya tidak juga, kekasihnya yang sangat bodoh, tidak menyadari bahwa pacarnya memuja ku dibalik punggungnya.
Dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut-, aku tak mau menyebutnya karena menyebut namanya membuat hatiku begolak dan nadiku berdenyut menggila. Menyebut namanya mengumbar semua rasa yang terbendung dalam didada, rindu, marah, heran, curiga, sesal, cinta, sebal, dan sebutlah semua.
Beri aku waktu merasionalkan tindakanku selama empat tahun ini. Dia membuatku nyaman, membuatku tertawa, membuatku tenang, membuat ku pasti, dan membuatku patuh pada semua perkataannya. Apa itu bagus? Terdengarnya tidak, malah makin terdengar bodoh. Dia... dia membuatku pasti... akan semua tindakan dan keputusan yang aku ambil. Bukan berarti dia yang memutuskan segalanya untuk ku. Tapi dia orang yang bisa mengambil keputusan. Tidak semua laki-laki bisa membuat keputusan. Contohnya saja keputusan gampang akan makan dimana atau nonton apa bisa menjadi obrolan yang panjang dan menyebalkan. Dengan dia tidak. Saat aku dilanda kebingungan, tidak pernah ada jawaban "terserah kamu" atau "mau kamu seperti apa"..(jika aku tau pasti apa yang aku mau, tak akan ada kebingungan). Dia memberi jawaban pasti, dengan alasan. Alasan yang bisa aku bantah atau setujui dan bisa membuatku menjadi pasti dengan ingin dan mau ku.
Dia yang aku ingin.
Kamarku semakin terasa dingin seiring bertambah teriknya matahari di luar. Sungguh ironi. Hari kedua Easter Break, semua target untuk menyelesaikan tugas dan persiapan bahan untuk project berakhir dengan seharian dikamar, mencuci dan menstrika semua pakaian, menonton dua film dan bolak-balik mengecek status ym dan fb dia-yang-namanya-tak-mau-pergi-dari-kepalaku. Suara ketukan halus dipintu kamar ku membuyarkan kenangan tentang dia.
"Ya, masuk aja..."
"Nanti ke stop 33 yuk Vie..., ngopi yang panas-panas. Dingin banget nie ngga keluar rumah..."
"Ok.. jam berapa?"
"Abis ashar aja ya..?"
"Sip.."
Rani, housmate ku yang sedang mengambil Master of Public Health di Universitas yang sama dengan ku dan setiap hari selalu terlihat sedang belajar atau mengerjakan tugas-tugasnya, kembali lenyap setelah menutup pintu kamar dengan berisik.
Sendiri di negeri orang dan memiliki banyak waktu untuk berpikir (seharusnya untuk belajar.. bukan memikirkan dia), aku semakin memahami diriku, dirinya, walau tak pernah mengerti tindakannya. Pertanyaan "mengapa dia tidak memilihku" sudah kubuang jauh.. sejauh harapanku untuk memilikinya. Pertanyaan baru "mengapa aku belum juga melupakannya" menjadi tak berguna karena dengan pertanyaan itu semua kenangan positif dirinya muncul menguatkan alasan pilihan ku untuk selalu mengingat nya.
Puisi dan tulisan ku selalu mengalir karena kenangan akan dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut. Indah dan hancurnya hariku adalah karena sapa dan penolakan nya di segala jalan komunikasi. Tenang dan gundahnya hati ku hanya karena dia memberi kabar atau tidak. Dia yang menyebut namanya saja menggeliatkan segenap pembuluh darah ku, merontakan jantungku, memabukkan hatiku, dan membuatku merasa orang terbodoh di dunia, tak mau menghilang dari hidupku.
Dia -yang-namanya-tak-mau-aku-sebut- perlahan mulai menjauh dari hariku. Jarak memang tak berarti dengan segala teknologi. Tapi jarak bisa membatasi jika kita ingin sendiri. Aku tak ingin sendiri. Tapi aku pasti dengan inginku; aku ingin dia bahagia...
I want you to know that it doesn't matter
Where we take this road someone's gotta go
And I want you to know you couldn't have loved me better
But I want you to move on so I'm already gone
You know that I love you so, I love you enough to let you go
~Kelly Clarkson; Already Gone
No comments:
Post a Comment