“So.., how was your.. uhm.. sex... relationship?” 

Aku sedang di unit kediaman sementara Tunga, di daerah Flemington, kurang lebih 4 km dari Mebourne University. Sedang duduk di membelakangi laptop nya dan memandang dia yang sedang berdiri di depan pintu kamar dengan celemek dan membawa sendok penggorengan. Mulut ku membuka tanpa suara dengan pandangan bingung menatapnya. Dan seperti biasa, menganggap English anehnya yang sangat kental dengan aksen Rusia (walaupun dia berasal dari Mongol, tapi pernah hidup 9 tahun di Rusia) itu tidak dapat di mengerti, Tungga mengulangi dan memperjelas pertanyaan nya.

“I mean… your sex.. with him… Is it good..??”

Tunga, ibu 2 anak yang sedang menanti jawaban ku ini, masih cantik di usia empat puluh. Itu usia menurut perkiraan ku, karena tidak mungkin aku menanyakan langsung pada dirinya. Tapi anak sulungnya telah berusia 18 tahun dan dia bertemu dengan suaminya saat berumur 22 tahun. Ya, aku bertanya pada usia berapa dia menikah dan dia menjawab dia bertemu suaminya pada umur 22 tahun. Cukup, tidak ada pertanyaan lanjutan. Suatu saat Tungga juga pernah menuduh aku jauh lebih muda dari dia dan mengatakan dia 10 atau malah 15 tahun lebih tua (setelah dengan santai nya dia menyakan usia ku berapa).

“Because… Vie... Ada temen ku yang masih tetap bertahan dengan pacarnya hanya karena sex... Tidak ada alasan lain…”

Karena aku masih juga melongo bego, Tungga kembali melanjutkan usahanya memperjelas pertanyaan. Sementara aku masih bingung bagaimana harus menjawab pada seorang atheis yang terheran-heran dengan “halal meat”, takjub dengan 5 kali prayer times dalam sehari, dan ikut mengambil buku “Muslim Student Guide” hanya karena tertarik. Akhirnya aku hanya berujar…

“You know Tunga… Di negara ku, kamu tidak bisa menanyakan pertanyaan seperti itu pada orang lain”

Dan, seperti yang sudah kuduga, “Why…?” dengan ekspresi tak mengerti terlontar keras.

Because.. Sex before married is not a common thing in my country”
“Whaaaat??” Kali ini dengan ekspresi tak percaya lengkap dengan mengangkat tangan nya yang masih memegang sendok penggorengan.

“Ini karena agama mu?”

“Hei.. banyak ajaran agama lain yang juga melarang nya, bukan cuma agama ku” tukasku defensif dan tak sengaja terdengar sangat kasar.

Aku tak mau menjelaskan lebih lanjut, bahwa itu bukan berarti tidak ada yang melakukannya. Bagaimana bisa menjelaskan pada.. Ooopss.. ya.. aku ada ide…

“Look.. ini hanya –bukan-pertanyaan-yang-wajar. Tidak semua orang bisa menerimanya, bahkan mungkin beberapa orang akan tersinggung, terutama yang masih berstatus belum-menikah. Sama seperti menanyakan umur pada orang yang mulai terlihat tua disini.. Tidak semua orang bisa menerima nya kan? Beberapa orang malah akan tersinggung”

“Yeah.. But.. kalau kamu jatuh cinta dengan seseorang.. merasa cocok dengan nya, dan lalu menikah.. tapi sebelumya tidak pernah berhubungan sex... Bagaimana kamu bisa TAU…. Bagaimana kalau TERNYATA….. BAGAIMANA..…??” dan ekspresi serta gerakan tangannya yang memegang sendok penggorengan semakin liar.. Bingung mencari kata yang tepat untuk melukiskannya.

“That’s CRAZY…!” simpulnya dengan pandangan tak percaya dan beranjak kembali ke dapur. Yang berarti mundur selangkah dari depan pintu kamarnya.

Yup. This is crazy… Maksud ku.. bagaimana mungkin perjalanan jauh ku menyeberang ke negeri tetangga dan meninggalkan tempat aman nyaman sentosa negriku tercinta Indonesia (oke, aku terlalu berlebihan) berakhir dengan di interogasi oleh ibu-ibu atheis yang terheran-heran dengan cara aku menjalani hidup. Berawal dari kelas preparation bagi AusAid Student, aku sekelas dengan Tunga, satu group dalam suatu tugas karena bidang kita sama, yang berarti satu fakultas juga. Dan karena terjadi DRAMA dalam kelompok tugas yang beranggotakan lima orang itu, akhirnya aku bersahabat sampai sekarang dengannya.

Dan disinilah aku sekarang. Di unit apartement satu kamar Tunga yang kecil. Biasanya tempat seperti ini hanya disebut unit. Terletak di Gedung dua lantai dengan 8 unit. Tiap unit hanya memiliki 2 ruangan. Living room yang menyatu dengan dapur, dan bedroom dengan kamar mandinya.

Bukan tanpa alasan tiba-tiba Tunga menanyakan pertanyaan itu. Dan bukan tanpa alasan juga aku hari ini berada di rumahnya. Alasannya adalah sosok “him” yang ditanyakan Tunga barusan padaku. Seorang yang (mencontek gaya Harry Potter) namanya-tak-mau-aku-sebut, telah membuat ku tak betah tanpa kegiatan sendiri di rumah. Seseorang yang namanya-tak-mau-aku-sebut itu juga sepertinya menjadi alasan lain kedekatan ku dengan manusia atheis ini. Seseorang namanya-tak-mau-aku-sebut yang sekarang jauh berada di kampung halaman ku ternyata masih juga mengganggu hidup ku yang sudah cukup memusingkan di negeri orang ini. Dan terimakasih kepada facebook, yahoo messenger, skype, email dan operator telepon yang membuat jarak sama sekali tak ada artinya. Dan terimakasih (bernada sinis) untuk dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut karena selalu betah bercokol di kepala ku.

Tunga kembali muncul di depan pintu

“Kamu harus melupakannya… Dia jauh.. Kamu pasti bisa… He is not in love with you… Sorry…”

Ok, terimakasih atas semua pendapatnya Madam. Tapi aku percaya dia (sekurangnya) pernah in love with me. Dan sepertinya aku masih berpegang pada bayangan yang telah berlalu itu. Empat tahun bukan waktu yang singkat dan bisa dihapus dengan empat bulan di negeri orang. Seperti aku bilang sebelum nya, jarak tidak berarti apapun. Sebelumnya, walaupun satu kota, toh aku pun jarang bertemu dengandia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut.
Ya, empat tahun sudah. Dan tidak, dia bukan suami orang. Karena itu selalu pertanyaan orang lain setiap kali mendengar sekilas ceritaku. Dia bukan, atau belum suami orang. Dan ya, dia punya kekasih yang dia akui dia cintai (dan pastinya mencintai dia, atau harusnya begitu), dan ya, aku masih tetap cinta dengan nya.. Ugh.. aku benci mendengar kata cinta, tapi maaf aku tidak bisa menemukan padanan kata lainnya. Sayang atau suka tidak menggambarkan dengan tepat perasaan ku. Ini cinta. Terdengar dangdut atau lebay pun (seperti pendapatku dulu tiap kali mendengar kata ini) harus aku akui ini memang cinta. Maaf untuk yang lebih percaya logika daripada cinta (dulu aku termasuk golongan ini). Mungkin anda tidak akan pernah mengerti kisah ku ini.

Aku mencoba mencerna sendiri kisah ku. Terdengar sangat tidak masuk akal. Jika orang lain yang menjalani kisah ini, dan menceritakannya padaku. Aku akan sangat kasihan padanya, lebih parah lagi aku mungkin akan megatakan dia super-duper-goblok. Dan ya, aku tau orang pasti memandang seperti itu padaku saat ini. Tunga salah satu bukti nyata pendapat ini. Orang yang rasional pasti akan memilih mematikan cintanya apabila orang yang dicintai telah bersama orang lain dan memilih untuk tetap bersama yang lain. Tapi aku tidak. Dengan pongahnya memilih untuk tetap mencintai hanya karena satu alasan: dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut menyatakan bahwa dia juga mencintai aku, tetapi tidak bisa meninggalkan kekasih nya (yang telah menjadi kekasih nya selama 8 tahun). Gila..!! Dan semua orang yang tau kisahku ini memberikan pendapat yang sama. Lupakan!

Aku salah. Tak ada pembelaan diri. Seharusnya aku membunuh cinta ini pada kesempatan pertama. Mengutip ucapan salah seorang sahabat ku; lupakan, matikan, walau pasti sakit, lebih baik sakit sebentar daripada berkelanjutan. Tapi aku memilih untuk tidak melupakan. Memilih untuk tidak terlalu sakit, walau menyadari akan membutuhkan waktu lama. Tapi empat tahun..?? Masokis!

Tapi aku tahu dibalik semua alasan tidak logis tentang cinta itu, aku memiliki suatu alasan rasional; masih berharap dia-yang-namanya-tak-mau-aku-sebut memilih aku dibanding kekasih nya. Crazy..!